By : Dinar Apriyanto
Dalam sebuah kunjungan saya di
suatu sore di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Kota Pelajar, suasana sore
itu tampak begitu riuh. Lalu lalang mahasiswa dan mahasiswi dengan berbagai
penampilan dan gaya, mereka bergantian melintas di depan saya yang berjarak
satu langkah tepat, di sebuah teras sebuah gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Beberapa
mahasiswa tampak dibalut jas almamater. Memori saya kemudian teringat pada
aktivitas yang pernah saya lalui dulu semenjak masih menginjak bangku S1. Gaya,
tingkah, polah, keasyikan, hampir tidak ada beda-nya dengan yang saya lalui
saat itu dengan yang saya lihat sore itu.
Ketika mendung mulai berubah
menjadi titik-titik air hujan berintensitas tinggi, suasana lalu lalang para
mahasiswa itu berubah menjadi ajang lomba lari. Beberapa berteduh menyelamatkan
diri dari basah, sebagian mahasiswa justru memilih menyelamatkan barang-barang
berupa meja, kardus, dan beberapa pernak-pernik papan informasi dari styrofoam.
Suasana sibuk menyergap mendadak do sore itu. Ada rasa takjub yang muncul dalam
diri saya, melihat ‘perjuangan’ para mahasiswa itu dalam mengadakan sebuah
event hingga memberesi event sampai selesai hingga harus rela kehujanan.
Sungguh, jiwa patriotik seperti yang pernah kita pelajari di pelajaran
Pancasila saat SD yaitu rela berkorban tanpa pamrih...ya, inilah wujud jiwa
patriotik sesungguhnya yang ditunjukkan para mahasiswa itu.
Sembari menunggu kehadiran
sahabat saya, saya masih duduk di teras gedung itu sambil tetap mengamati
kesibukan aktivis kampus yang kini sebagian besar sudah masuk ruangan-ruangan
kecil di gedung itu. Ruangan-ruangan berjendela kaca yang nampak jelas dari
luar itu begitu kental menggambarkan suasana ekspresif, seru dan enerjik. Motto-motto perjuangan ala mahasiswa
terpampang dengan tegas di dinding-dinding ruangan yang ber-aneka warna.
Beberapa mahasiswa tampak berkumpul dan asyik bercerita. Tak sedikit yang
membentuk lingkaran dan menyanyikan yel-yel khas organisasi mereka
masing-masing. Suasana tiba-tiba berubah riuh dan heboh..
Pandangan saya berpindah ke arah
sebuah ruangan kecil di pojok gedung itu. Tembok bercat putih itu menampakkan
dengan jelas suasana dalam ruangan yang dihuni beberapa gelintir mahasiswa.
Saya amati dengan seksama, Satu orang mahasiswa maju ke depan, diikuti mahasiswa lain berdiri di belakangnya, mereka
berbaris bershaf...hampir terbentuk tiga shaf.Ternyata mereka sholat berjamaah.
Namun, melihat sinar matahri yang sudah mulai meredup, saya penasaran jam
berapa sekarang. Saya rogoh kantong saku celana, saya ambil handphone dari saku
saya. Saya lihat jam berapa sekarang. Ternyata jam menunjukkan pukul 17.40.
Saya bingung, sholat jam segitu, sholat apa ya? Kalau sholat Ashar sudah hampir
habis waktunya, beberapa ulama berpendapat sudah habis waktu Ashar bila jam
segitu baru sholat ashar. Kalau sholat maghrib, belum masuk waktunya...
Pembaca yang budiman, saya lalu
teringat akan pesan dalam sebuah buku motivasi yang Sangat terkenal di dunia
dan di negara kita. “The Seven Habits”, salah satu pesan dalam buku itu adalah
milikilah kebiasaan “Dahulukan Yang Utama”... mungkin dalam buku ini tidak
dibahas mengenai urusan sholat, namun sebagai seorang muslim, kita harus pandai
membuat skala prioritas dalam segala kesibukan yang kita lakukan setiap hari.
Sesibuk apapun kita, tak pantas rasanya menomorduakan ibadah apalagi tidak ada
udzur bagi kita untuk mengundurkan waktu sholat. Berprofesi sebagai apapun kita
saat ini, mahasiswa,murid, guru, dosen, dokter apapun, pasti kita akan sangat
sibuk dengan berbagai macam aktivitas. Namun aktivitas itu jangan sampai
mengalahkan kualitas ibadah kita di hadapan Sang Maha Pemberi
Kehidupan...Marilah kita perbaiki kualitas ibadah kita dihadapan Alloh setiap
saat agar kita semakin dicintai-Nya dan dikabulkan impian-impian kita di dunia
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar