Jumat, 30 Maret 2012

Ibu, Sang Katalisator Impian...



By : Dinar Apriyanto

Suatu pagi sebelum beraktivitas, biasanya saya menyempatkan diri untuk mendengarkan ceramah seorang ustadz terkenal di sebuah stasiun televisi. 30 jam mendengarkan Ustadz favorit saya ini rasanya begitu singkat, karena bahasanya mengalir dan ceritanya tidak muluk-muluk bahkan sangat pas di telinga saya. Pagi itu rasanya tema yang beliau angkat begitu sesuai dengan kebutuhan batin saya saat itu. “Kalau ingin sukses, datangilah ibundamu”, materi dari beliau saya cermati dengan seksama, dan terkadang titik-titik air mata rasanya tak mampu terbendung.Selesai mendengarkan ceramah Ustadz ini, saya mencatat ada tiga hal penting yang harus kita lakukan untuk menuju tangga kesuksesan di dunia ini melalui ibu kita.

Pertama, Sampaikan kepada Ibu kita, apa saja impian yang ingin kita raih di dunia ini. Mungkin saat ini kita  merasa banyak diantara impian ataupun cita-cita kita yang belum tercapai atau kita merasa kekuatan kita tak sebesar dari keinginan kita di dunia ini. Maka sekaranglah saatnya untuk mendatangi ibu kita dan sampaikan, apa saja hajat hidup yang ingin kita wujudkan di dunia ini.

Kedua, ajaklah ibu kita untuk hadir di tempat keberhasilan yang kita inginkan. Barangkali kita belum pernah mengajak ibu kita berada di tempat-tempat yang kita anggap sarana keberhasilan kita. Tempat itu mungkin kampus, dimana kita tak kunjung lulus dan kita punya hajat untuk segera lulus, Tempat itu mungkin kantor atau perusahaan dimana kita ingin berada di dalamnya menjadi pegawai karena kita sampai saat ini belum dapat pekerjaan. Atau tempat itu adalah ruko atau tanah lapang dimana kita ingin membangun kerajaan bisnis di dalam ruko atau tanah lapang itu. Maka datanglah berdua dengan ibu, di tempat itu, Ibu kita ajak untuk berdoa, supaya tercapai impian kita, ya, di tempat itu,kita berdo’a  tepat di atas tempat itu.

Ketiga, muliakanlah ibu kita. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan ataupun urusan diri kita. Mungkin selama ini kita terjebak pada aktivitas kerja keras yang kita anggap menjadi satu-satunya jalan untuk melipatgandakan pendapatan ataupun prestasi. Namun bisa jadi selama ini kita lupa bahwa ada orang Terbaik yang sebenarnya bisa mempercepat segala hajat yang kita inginkan di dunia ini. Memuliakan Ibu, adalah sebuah aktivitas yang seharusnya terus menerus kita lakukan setiap saat, ia bukanlah sekedar sekali saja membahagiakan, namun memuliakan berarti adalah pekerjaan tanpa henti untuk senantiasa membuat ibu kita bangga akan ke-salehan anak-nya. Dan inilah yang membuat kita senantiasa di do’akan oleh ibunda kita dalam setiap momen dan waktu.
Insya Alloh keberhasilan akan mengejar kita, ketika Ibu, sebagai “katalisator” impian dan terkabulnya do’a kita senantiasa kita jadikan prioritas untuk kita perhatikan, hormati dan muliakan...  

Kamis, 29 Maret 2012

Dahulukan yang Utama...


By : Dinar Apriyanto

Dalam sebuah kunjungan saya di suatu sore di sebuah Perguruan Tinggi terkenal di Kota Pelajar, suasana sore itu tampak begitu riuh. Lalu lalang mahasiswa dan mahasiswi dengan berbagai penampilan dan gaya, mereka bergantian melintas di depan saya yang berjarak satu langkah tepat, di sebuah teras sebuah gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa. Beberapa mahasiswa tampak dibalut jas almamater. Memori saya kemudian teringat pada aktivitas yang pernah saya lalui dulu semenjak masih menginjak bangku S1. Gaya, tingkah, polah, keasyikan, hampir tidak ada beda-nya dengan yang saya lalui saat itu dengan yang saya lihat sore itu.
Ketika mendung mulai berubah menjadi titik-titik air hujan berintensitas tinggi, suasana lalu lalang para mahasiswa itu berubah menjadi ajang lomba lari. Beberapa berteduh menyelamatkan diri dari basah, sebagian mahasiswa justru memilih menyelamatkan barang-barang berupa meja, kardus, dan beberapa pernak-pernik papan informasi dari styrofoam. Suasana sibuk menyergap mendadak do sore itu. Ada rasa takjub yang muncul dalam diri saya, melihat ‘perjuangan’ para mahasiswa itu dalam mengadakan sebuah event hingga memberesi event sampai selesai hingga harus rela kehujanan. Sungguh, jiwa patriotik seperti yang pernah kita pelajari di pelajaran Pancasila saat SD yaitu rela berkorban tanpa pamrih...ya, inilah wujud jiwa patriotik sesungguhnya yang ditunjukkan para mahasiswa itu.

Sembari menunggu kehadiran sahabat saya, saya masih duduk di teras gedung itu sambil tetap mengamati kesibukan aktivis kampus yang kini sebagian besar sudah masuk ruangan-ruangan kecil di gedung itu. Ruangan-ruangan berjendela kaca yang nampak jelas dari luar itu begitu kental menggambarkan suasana ekspresif, seru dan enerjik.  Motto-motto perjuangan ala mahasiswa terpampang dengan tegas di dinding-dinding ruangan yang ber-aneka warna. Beberapa mahasiswa tampak berkumpul dan asyik bercerita. Tak sedikit yang membentuk lingkaran dan menyanyikan yel-yel khas organisasi mereka masing-masing. Suasana tiba-tiba berubah riuh dan heboh..

Pandangan saya berpindah ke arah sebuah ruangan kecil di pojok gedung itu. Tembok bercat putih itu menampakkan dengan jelas suasana dalam ruangan yang dihuni beberapa gelintir mahasiswa. Saya amati dengan seksama, Satu orang mahasiswa maju ke  depan, diikuti  mahasiswa lain berdiri di belakangnya, mereka berbaris bershaf...hampir terbentuk tiga shaf.Ternyata mereka sholat berjamaah. Namun, melihat sinar matahri yang sudah mulai meredup, saya penasaran jam berapa sekarang. Saya rogoh kantong saku celana, saya ambil handphone dari saku saya. Saya lihat jam berapa sekarang. Ternyata jam menunjukkan pukul 17.40. Saya bingung, sholat jam segitu, sholat apa ya? Kalau sholat Ashar sudah hampir habis waktunya, beberapa ulama berpendapat sudah habis waktu Ashar bila jam segitu baru sholat ashar. Kalau sholat maghrib, belum masuk waktunya...

Pembaca yang budiman, saya lalu teringat akan pesan dalam sebuah buku motivasi yang Sangat terkenal di dunia dan di negara kita. “The Seven Habits”, salah satu pesan dalam buku itu adalah milikilah kebiasaan “Dahulukan Yang Utama”... mungkin dalam buku ini tidak dibahas mengenai urusan sholat, namun sebagai seorang muslim, kita harus pandai membuat skala prioritas dalam segala kesibukan yang kita lakukan setiap hari. Sesibuk apapun kita, tak pantas rasanya menomorduakan ibadah apalagi tidak ada udzur bagi kita untuk mengundurkan waktu sholat. Berprofesi sebagai apapun kita saat ini, mahasiswa,murid, guru, dosen, dokter apapun, pasti kita akan sangat sibuk dengan berbagai macam aktivitas. Namun aktivitas itu jangan sampai mengalahkan kualitas ibadah kita di hadapan Sang Maha Pemberi Kehidupan...Marilah kita perbaiki kualitas ibadah kita dihadapan Alloh setiap saat agar kita semakin dicintai-Nya dan dikabulkan impian-impian kita di dunia ini.

Rabu, 21 Maret 2012

Hidup adalah kata kerja aktif bukan pasif...



By : Dinar Apriyanto

Sore ini salah satu agenda terpenting saya adalah menyelamatkan laptop teman yang ‘sekarat’ akibat sudah aus dimakan usia. Saya merasa bertanggung jawab karena beberapa waktu yang lalu saya juga yang merekomendasikan teman saya itu untuk membeli spare part di sebuah pameran komputer terbesar di Jawa Tengah. Berbekal secarik kuitans...i kecil, saya amati dengan seksama alamat yang tertera di ‘header’ kuitansi itu. Melajulah kendaraan saya ke tempat yang dituju, karena hanya mengingat-ingat satu penggal kata yang mewakili daerah itu, maka di tengah jalanpun saya harus bertanya kepada Bapak yang sedang bertugas parkir di sebuah rumah makan...

Bapak ini memberi petunjuk bahwa saya harus melewati tiga bangjo menuju alamat yang saya maksud. Tak banyak berpikir panjang, tepat saat langit tiba-tiba berubah menjadi mendung sayapun segera memacu kendaraan secepat mungkin, apalagi titik-titik air hujan sudah mulai turun. Sayapun menghitung jumlah bangjo persis seperti yang bapak tadi maksudkan, ya tiga kali bangjo lalu belok kanan. Namun kira-kira sepuluh kilometer lebih saya memacu kendaraan, kecurigaan saya mulai muncul. Sejauh ini, baru saya temukan dua bangjo. Dan kecurigaan saya lengkap dan sempurna rasanya ketika sampai di bangjo ketiga, tak ada belokan ke arah kanan. Astaghfirulloh...

Sayapun memutar balik kendaraan saya lebih cepat dari sebelumnya...dan singkat cerita, saya kemudian berada di titik dimana saya tadi bertanya pada Bapak parkir itu...sayapun terpaksa menggunakan jasa ‘mbah google’ untuk mencari tempat yang saya maksud...Tergambar jelas di peta bahwa arah saya berjalan barusan bertolak belakang dengan rute yang seharusnya saya tempuh...Sesegera mungkin sayapun menuju ke lokasi seperti yang ditampilkan ‘mbah google’. Menjelang maghrib, akhirnya sampai juga di toko servis komputer yang dimaksud...

Sampai kaki saya menginjak di depan etalase ‘front office’ tak tampak petugas mendatangi saya, padahal tampak mereka sedang beraktivitas di depan saya yang hanya berjarak sekitar lima meter. Sampai kemudian saya memulai memanggil salah satu diantara mereka, “mas...mau tanya!” kataku...barulah salah seorang dari mereka mendekat...”kemarin saya beli spare part laptop disini mas, nah sekarang kok nge-‘hang’ ya? Bisakah di cek?” tanya saya kesalah satu petugas yang tadi mendekat...petugas itu wajahnya tanpa ekspresi, datar saja, tampak petugas lain-pun mendengarkan perkataan saya...”Gimana mas? Bisa di cek?” tanya saya lagi...Petugas itu sama sekali tak menyentuh laptop yang saya bawa... “Coba dinyalakan laptopnya mas!” kata petugas itu....”Wah mas, charger-nya saya tinggal, nggak bisa dihidupin, wong sudah low bat!” kataku... petugas itu menatap tanpa ekspresi lagi..datar...”Coba dibuka bagian belakangnya!” kata petugas itu...saya terheran-heran sama petugas ini, kok bisa ya, malah saya disuruh mbuka bagian belakang laptop ini, bukankah saya tidak membawa peralatan apapun, dan bagaimana saya bisa membuka laptop ini? Petugas itu juga tidak menyodorkan alat apapun...

Lalu tiba-tiba salah satu petugas lain yang masih tetap berdiri di tempat semula –lima meter di depan saya – menyampaikan penjelasan cukup puanjang yang intinya, saya diminta untuk pulang dan menginstall ulang windows-nya ... sayapun berbalik badan dan merasakan ada yang aneh... kenapa ya? Waktu beli kemarin, orang-orang disini begitu ramah, kini giliran spare part yang saya beli bermasalah, mereka enggan MELAYANI dengan baik...Sembari mengendarai kendaraan saya, pikiran itu terus mengganggu, hingga saya teringat sebuah artikel di sebuah majalah bisnis yang ditulis oleh salah seorang motivator no.1 di Indonesia, beliau menuliskan tentang keramahan seorang pelayan toko dan pemilik toko yang membuat seorang ibu-ibu tua yang akan membeli buku di toko tersebut begitu terkesan dengan pelayanan toko tersebut...

Pembaca yang budiman, kejadian ini mengajarkan saya bahwa hidup adalah kata kerja bukan kata pasif...wajar sebagai manusia bila ingin dilayani...namun sebagai manusia yang ingin bermanfaat bagi orang lain, tak pantas rasanya hanya sekedar pasif saja dan menuntut untuk dilayani...mari kita belajar untuk mendahulukan sikap ‘MELAYANI’ sebelum ingin ‘DILAYANI’. Apapun peran kita saat ini, anak, istri, suami, mahasiswa, dosen, dokter, pelayan....maka belajar MELAYANI dengan baik untuk tentu akan membuahkan rasa cinta dari orang lain...Seorang suami akan semakin cinta dengan Istrinya jikalau ketika pulang, Istri MELAYANI dengan membuatkan teh manis, seorang dosen MELAYANI mahasiswanya dalam bertanya hal-hal yang sulit, seorang anak MELAYANI keinginan orang tua yang semakin uzur, dan seorang pelayan toko MELAYANI pembeli yang datang dengan sebaik mungkin..maka kehidupan kita akan semakin lengkap dan sempurna tatkala kita mendahulukan Melayani orang lain sebelum meminta untuk Dilayani orang lain...

Selasa, 20 Maret 2012

Kesabaran seorang Ibu...



By : Dinar Apriyanto

Weekend kali ini terasa begitu istimewa bagi saya dan tiga bidadariku – istri dan kedua putriku-. Kami berkesempatan untuk ‘rihlah’ ke sebuah kota yang terkenal dengan buah Apel-nya dan kalau tidak salah ingat, terakhir kali kami berkunjung ke kota ini mungkin sudah hampir setahun yang lalu. Rasanya perjalanan kami pagi itu begitu nikmat, karena selain me-refresh pikiran, sejak awal kami sudah niatkan juga untuk melihat ke-Besar-an Alloh melalui alam yang dibentangkan di muka bumi ini. Selama perjalanan-pun suasana belajar begitu kental, tak henti-hentinya kami gunakan untuk mengajak kedua putri-ku melihat berbagai macam fenomena termasuk fenomena sosial yang banyak ditemukan selama kurang lebih delapan jam perjalanan yang akan ditempuh. Fenomena yang kami pelajari yaitu dari pengemis yang menggendong bayi kecil, sekumpulan pemuda bertubuh gagah yang ‘hanya’ menghabiskan waktu dengan melompat dari satu truk ke truk lain, para pedagang bakso dan rujak yang begitu gigih mencari nafkah dan juga sampai fenomena kemacetan di jalan raya yang sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Ah..Hampir-hampir tiap saat, selalu saja ada saja fenomena yang bisa kami ambil hikmahnya. Hingga suasana belajar itu ‘dihentikan’ oleh rasa kantuk yang menghinggapi kami berempat...

Tepat pukul 16.00 di sore hari tibalah kami di kota tujuan. Kamipun menuju sebuah hotel yang berada di sekitar tempat wisata yang akan kami kunjungi keesokan harinya. Tiba di hotel, seorang penjaga lobi hotel tersenyum melihat kedatangan kami, dan menunjukkan daftar kamar yang sudah bertuliskan nama pemesan dan kamar, ada nama keluarga kami dalam daftar itu, lalu petugas lobi hotel satunya sibuk mencari kunci di box dan dalam hitungan detik kunci kamar bernomer 114 diserahkan petugas itu. “Silahkan pak!” satu lagi petugas lobi mengambil tas coklat besar bawaan kami yang cukup berat...kira-kira 50 meter dari lobi hotel, kami sampai di kamar “Triple Room” bernomor 114. Kelelahan perjalanan kami akhirnya terobati dengan tiga buah tempat tidur nyaman yang  sudah tertata begitu rapi. Suhu kamar lumayan dingin, “AC-nya terlalu dingin!” pikirku dalam hati, sambil melongok ke atas dan saya cari-cari letak AC-nya, oh..tak saya temukan AC di ruangan ini, dan saya baru tersadar, bahwa ternyata dingin suhu di kamar ini bukan karena AC, namun karena memang daerah ini dikelilingi pegunungan, dan berada di dataran tinggi, sehingga wajar bila suhu kamar ini terasa seperti terhembus dinginnya Air Conditioner.Mengingat masih butuhnya energi untuk menikmati keindahan alam Kota Apel esok pagi-nya, kamipun malam itu  memilih untuk segera istirahat dan rencana untuk berkunjung ke beberapa tempat yang eksotis dan indah di kota ini sudah menari-nari di atas lamunan kami sampai terbawa dalam bunga tidur kami berempat...

Suara Adzan subuh membangunkan istirahat malam itu yang terasa panjang...Pagi itu hawa semakin dingin suhu-nya, ditambah sinar matahari yang tampak ‘enggan’ menyinari kota ini. Namun hawa dingin tak menyurutkan ‘semangat’ kami untuk bergegas mandi setelah semalaman tertidur pulas...Pagi itu rasanya waktu berjalan begitu cepat karena terlalu banyak hal yang sudah kami susun untuk berkunjung dan merasakan beberapa keindahan tempat wisata di kota ini...Sebuah bus berkapasitas 60 orang membawa kami ke sebuah tempat wisata yang berjarak kira-kira 3 kilometer dari hotel tempat kami bermalam...Tempat wisata ini tampak dari kejauhan seperti Istana, mungkin kastil, ah bukan...kerajaan...bukan juga, mungkin sejenis kebun binatang, karena aksesoris di sekitarnya terlalu kuat menggambarkan suasana alam yang begitu kental, dua buah patung gajah ukuran besar dan sebuah pohon besar seukuran gedung bertingkat sepuluh lantai..wow...ah, apalah tempat ini yang jelas tempat ini sudah menjadi referensi  ribuan pengunjung hampir setahun belakanghan ini, walaupun masih baru, namun tempat ini sudah begitu terkenal hingga Mancanegara, kamipun masih tertegun melihat begitu indahnya tempat ini...bergegas kami menuju pintu masuk tempat wisata yang ternyata sudah penuh sesak oleh pengunjung yang tampak sudah antri beberapa jam yang lalu...

Senin, 19 Maret 2012

Saat hidup terasa sempit...



By : Dinar Apriyanto

“Pantas, mengapa saat ini kita masih belum kaya, ekonomi masih sulit, mau beli ini itu serba nunggu punya duit, dan semakin bingung karena harga semakin hari semakin melangit!” seloroh seorang ustadz yang juga seorang pengusaha sukses di salah satu segmen materinya yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit di sebuah stasiun televisi...Ustadz itu melanjutkan uraiannya, ”Itu semua karena ketika Alloh hadir, kita masih tertidur...ya, di sepertiga malam terakhir Alloh hadir, mengabulkan do’a-do’a hambanya, termasuk yang kesulitan ekonomi, maka salah satunya kalau kita ingin kaya secara duniawi dan untuk meraih kemuliaan di akhirat nanti, bangunlah di sepertiga malam terakhir !” tegas ustadz itu...

Rasanya ‘provokasi’ itu begitu tertancap kuat dalam benak saya, yang ‘tersindir’ dengan perkataan ustadz itu...bagaimana mungkin, kita yang sudah diberi Alloh karunia berupa umur masih muda namun prestasi di dunia ini masih terasa biasa-biasa saja, rasanya terlalu ‘disia-siakan’ karunia berupa jasad yang masih kokoh, pikiran yang masih jernih, apalagi waktu yang masih begitu luang di usia muda ini..Tak berlebihan rasanya ‘sindiran’ ustadz itu yang mengatakan bahwa barangkali justru kita yang ‘tidak mau’ diberi karunia berupa kekayaan, ‘wong’ kita saja masih terlelap dalam mimpi panjang di saat sebenarnya kita bisa menumpahkan segala keinginan dan harapan serta mengajukan ‘proposal hidup’ berupa rencana-rencana dan ‘goal setting’ kita untuk survive di muka bumi ini dengan cara berdo’a di sepertiga malam terakhir. Orang jawa bilang “rezeki -mu bisa dipatuk ayam” kalau telat bangun, apalagi telat bangun untuk sholat malam, meminta dan berdo’a dengan permintaan apapun yang kita inginkan...

Motivasi dari orang-orang di sekeliling kita....


Minggu, 18 Maret 2012

Di kala usia muda...



By : Dinar Apriyanto

Sebuah pemandangan suatu sore, tepatnya di sebuah gang samping sebuah kampus ternama di Yogyakarta, seorang mahasiswa berbadan cukup tinggi, berjalan kaki melintas trotoar sambil menggendong tas hitam di punggungnya, dan dua tangannya menyangga dua boks besar transparan yang bila dicermati dengan seksama tampak bahwa dua boks besar itu adalah bekas wadah donat...oh, ternyata mahasiswa ini habis berjualan donat di kampusnya. Dengan tegap, dia berjalan di tengah lalu lalang mahasiswa/i lain yang tampil lebih trendy dan gaul dibanding cara berpakaian mahasiswa ini. Wajahnya tampak sayu, gurat lelah di keningnya tak mampu ia sembunyikan saat ia berjalan di bawah sorotan sore matahari dari arah barat, namun senyum ‘kepuasan’ tampak dari bibirnya yang saat berpapasan dengan saya terlihat tersenyum. Saya tak tahu pasti, mungkin dalam pikirannya sedang menghitung rupiah demi rupiah yang berhasil dia kumpulkan hari ini di tiap sebiji donat yang berhasil ia jual.Kepuasan yang tak terbeli, pengalaman yang tak diobral dan keberhasilan hari ini yang telah dia capai bercampur menjadi sebuah mentalitas positif yang kelak akan membedakan ia dengan mahasiswa lain se-usianya. Hmm bila mahasiswa itu konsisten dengan ‘usahanya’ saya yakin suatu saat dia akan menjadi seorang pengusaha sukses...kata saya dalam hati...

Tak jauh dari pemandangan mahasiswa yang membawa dua boks besar bekas donat itu, kira-kira seratus meter jaraknya, saya melintas di depan sebuah kos mewah bersebelahan gang dengan gang sebelumnya, tampak mobil-mobil berjejer rapi didepan kos itu, tepat di depan arah saya melintas, sebuah mobil sedan mewah tampak baru sibuk memparkir-kan mobilnya, dan ketika pintu mobil dibuka, muncul seorang pemuda berbadan tegap atletis, berkulit sawo matang, yang saya taksir usianya 20 –an keluar dari sebuah mobil sedan mewah dan berpakaian ala atlet NBA lengkap dengan sepatu basket nya “...wah..wah...pasti pemuda ini akan orang kaya” gumam saya dalam hati tampaknya dugaan saya tak berlebihan, karena memang kawasan ini terkenal dengan kawasan orang-orang borjuis yang rata-rata ‘tarif’ kos-kosannya hanya mampu dibayar oleh orang-orang berduit...,dilihat dari cara berpakaiannya, jelas, dia sedang akan menyalurkan hobi-nya olahraga basket, tentu tak sekedar olahraga basket biasa, karena pemuda ini sangat memperhatikan detail penampilannya saat akan berolahraga, ya..Gaya hidup....kurang lebih seperti itu.. benar-benar pemandangan yang 180 derajat berbeda dengan pemandangan yang saya lihat sebelumnya... namun ada kesamaannya pemuda inipun menyembulkan senyum di bibirnya, hampir-hampir tak berbeda dengan mahasiswa yang saya temui sebelumnya, namun yang membedakan adalah pemuda ini tak menampakkan gurat kelelahan di wajahnya..”yah, karena memang sangat beda kondisinya, yang tadi jalan kaki, yang ini naik mobil sedan mewah”, pikirku dalam hati...

Tentu dua pemandangan ini mengandung hikmah, masa muda adalah saat menentukan untuk masa depan. Memilih untuk bersakit-sakit dahulu atau bersenang-senang dahulu...semuanya mengandung resiko. Selain itu berbagai macam pilihan hidup disajikan dengan begitu nikmatnya. Sesekali kita akan berusaha mencicipinya, lalu diam-diam memuntahkannya. Bingung, saking banyaknya pilihan bahkan sering kita kemudian mencoba-coba banyak hal hanya untuk menghabiskan waktu. Ah, kalau yang ini sia-sia namanya. Di saat muda pula, terkadang sulit menjatuhkan pilihan... ketika sebuah pilihan akan ditetapkan maka kebimbangan-pun menyeruak saat itu juga, pilihan yang seringkali dianggap buah simalakama seringkali membuat kita disibukkan untuk bingung memilih diantara banyak pilihan di usia-usia muda...foya-foya, sukses akademik, main sepuasnya, mengembangkan hobi....Ah begitu banyak pilihannya, hingga kadang justru kaki kita justru tak tergerak kemana-mana, pusing dengan pilihan sendiri... Namun tak bisa dipungkiri, bahwa pilihan kita di usia muda akan menentukan kelak menjadi siapa kita di masa depan nanti, Sukses atau Gagal...dihormati atau di’caci maki’...berdiri tegak atau tertunduk malu... kelak hanya akan menjadi akibat dari yang kita kerjakan dan kita pilih dimasa muda kita...

Bila saat masa muda kita bergelimang berbagai macam fasilitas seperti mobil, gadget, kartu kredit, uang cash setiap hari, dan barangkali seabreg fasilitas lain yang berasal dari kantong babe dan nyokap...maka fasilitas itu tentu tak selamanya bisa kita ‘nikmati’, suatu saat kenikmatan itu akan ‘hilang’ dari tangan kita,baik dalam kondisi kita siap ataupun tidak siap, mau ataupun tidak mau, terpaksa ataupun tidak...Memilih untuk berusaha berdiri dengan kaki sendiri di usia muda tentu merupakan pilihan yang tepat, karena kehidupan kita bagaimanapun juga akan menjadi tanggung jawab diri, bukan orang lain. Orang tua suatu saat akan ‘sepuh’ dimakan usia, harta suatu saat akan habis ‘dimakan’ si empunya, kesehatan suatu saat menurun tergerogoti penyakit, waktu suatu saat akan sempit termakan aktivitas...Maka berdiri dengan kaki sendiri di saat muda akan mengajarkan kita banyak hal, kemandirian, tanggung jawab, kedewasaan dan tentunya kepercayaan diri.

Selasa, 13 Maret 2012

Motor butut dan motor baru...


Alhamdulillah, saya diberi karunia berupa jarak antara rumah dan kampus tempat saya mencari ilmu sejauh sekitar 35 kilometer...dengan waktu tempuh sekitar satu jam untuk mencapainya. Dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam cukup bagi saya mengamati fenomena kejadian disekitar jalan raya yang saya lewati hampir setiap hari ini...Gedung perkantoran, sungai besar, jembatan, bangunan candi bersejarah, rumah-rumah warga dan masjid adalah beberapa bangunan yang menemani dan menghiasi perjalanan saya..fenomena peristiwa lalu lalang orang-pun tak luput dari pengamatan saya, mulai dari emosional-nya seseorang terburu-buru yang menancap gas begitu cepat dan tak berhenti memencet klakson, pertengkaran yang antara dua orang yang saling berboncengan, seorang kakek yang mengelus dada karena ditabrak dengan kecepatan rendah oleh seorang pemuda yang terburu-buru, sampai jatuhnya dan celaka-nya seorang ayah dan putrinya yang masih kecil karena tak melihat ada galian kabel FO..

Dalam perjalanan sayapun, fenomena sosial begitu kental mewakili pelbagai pelik kehidupan masyarakat negeri kita seperti halnya kesejenjangan sosial yang begitu kental, di sebuah lampu bangjo ada pengendara mobil yang begitu ‘gagah’ dengan merk mobilnya yang kita pasti tahu harga mobil itu pasti di atas satu Milyar dan disamping mobil mewah itu berdiri seorang Ibu yang sedang menggendong anaknya yang masih Balita dan mengemis... sedangkan tak jauh dari lampu bangjo itu ada sebuah Baliho ukuran kecil bertuliskan “Peduli tidak sama dengan Memberi..!” ah, begitu miris melihat fenomena ini...

Di lain kesempatan saya sering menangkap fenomena anak-anak muda generasi  negeri ini yang berlompatan dari satu truk menuju truk yang lain dengan jumlah yang tidak sedikit, anak-anak muda itupun berpakaian dan berdandan khas kelompok atau’geng’ tertentu yang hampir di jam-jam sibuk mereka selalu ditemukan berkeliaran...”apa mereka tidak sekolah?” saya sering bertanya dalam hati...Namun tampaknya ‘sekolah’ tak lagi tercantum dalam ‘kamus’ kehidupan mereka...


Segelas jus alpukat...



Saya yakin diantara anda sudah sangat familiar dengan “jus alpukat”. Salah satu jenis jus yang mungkin menurut anda tidak terlalu istimewa dan begitu mudah ditemukan di setiap sudut warung ataupun gerobak jus yang kini hampir dengan mudah kita temukan bertebaran di emperan jalan. Bagi saya, jus Alpukat tidaklah se- biasa- itu. Hampir-hampir kata ‘jus’ bagi saya, hanya bisa diikuti dengan kata ‘alpukat’ bila saya memesan jus dalam setiap ‘kunjungan’ saya di warung atau rumah makan. Meskipun bagi orang lain mungkin jus jambu, mangga, strawberry ataupun jus lainnya mungkin dianggap lebih enak, namun tidak bagi saya. Bahkan sering ketika deretan menu minuman dalam sebuah kertas menu yang sudah berjejer dengan rapi dan saya baca satu demi satu, ingin rasanya menjatuhkan pilihan pada menu minuman lain, namun lagi-lagi tangan ini tak bisa terbohongi, tetap saja menuliskan kata “jus alpukat”. Ha..ha..ha..mungkin semasa saya hidup dalam alam paling tenang di dunia ini yaitu rahim ibu saya, barangkali dulu beliau meng’idam’ jus alpukat...ah, tapi apapun sebabnya, sampai hari ini saya begitu menyukai minuman yang bernama jus alpukat.

Sore ini terasa begitu istimewa bagi saya, betapa tidak, setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu berkutat dengan layar “komputer jinjing” saya mampir ke sebuah gubug komputer untuk mengambil sebuah ‘laptop tua‘yang sudah hampir dua pekan ini ‘mondok’ di klinik reparasi ini. Berharap-harap cemas laptop itu bisa kembali ke pangkuan dengan ‘sehat’ kembali, namun tampaknya penyakitnya sudah ‘komplikasi’ dan ‘dokter laptop’ itu hanya bilang satu kalimat yang memupuskan harapan, “Maaf mas, enggak bisa lagi hidup laptopnya!”...Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...Pasrah, tampaknya pilihan emosi yang tepat untuk situasi seperti ini, karena ‘penyakit’ yang di derita ‘laptop’ saya memang cenderung sudah mencapai stadium empat dan rata-rata dari setiap klinik yang saya datangi memang menyarankan untuk mengganti spare part yang harganya bisa mencapai separuh harga laptop baru...Maka sore ini, saya Ikhlas karena Alloh men-takdirkan untuk mengistirahatkan ‘laptop tua’ saya yang sudah menemani selama lebih dari lima tahun lamanya...

Senin, 12 Maret 2012

Sang Maha Adil

Coba simak studi kasus yang saya dapat di kuliah Multi Hazard risk assessment berikut ini :



Rumah A adalah rumah dengan tipe sedang yang ketika banjir hanya terendam sedikit saja, sedangkan rumah C adalah rumah tipe mewah yang dimiliki oleh orang kaya dan ketika banjir terendam hampir 75%. Dan rumah B adalah rumah paling sederhana, kecil, dimiliki oleh orang yang ekonominya pas-pasan.

Setelah dihitung, hasilnya rumah B memiliki tingkat vulnerability yang paling tinggi yaitu 1 sedangkan rumah C memiliki tingkat vulnerability 0.5 dan rumah A memiliki tingkat vulnerability yang paling rendah yaitu 0.1. Namun setelah dihitung specific risk (atau resiko spesifik-nya) maka hasilnya justru yang memiliki tingkat specific risk paling tinggi justru rumah C, mengapa? Karena rumah C memiliki bangunan yang lebih indah, lebih besar dan dimiliki oleh orang kaya.

Ternyata bila dilihat secara fisik, tampak rumah C adalah satu-satunya rumah yang paling banyak menderita kerugian dalam kasus bencana banjir yang menimpa tiga rumah ini, namun setelah dihitung dengan perhitungan ilmiah, maka sebenarnya rumah B-lah yang justru menderita kerugian paling besar.

Waktu kecilnya tak akan kembali...



 

Ruangan seukuran  8x8 itu rasanya terlalu besar untuk kami berdua petang itu. Ditambah perabot yang sangat minim hanya dua kursi, satu meja kecil dan sebuah tikar anyaman yang kami pilih untuk duduk selama hampir satu setengah jam, rasanya menambah kesan ‘sepi’-nya ruangan ini. Suasana sepi dan ditambah sedikit hembusan angin ringan dari arah pintu besar dan tinggi berwarna coklat tua itu rasanya memberi kesan ‘khidmat’ pertemuan saya dan Bapak yang sudah hampir sebulan ini menjadi ‘murid’ Ngaji saya.
Namun seperti biasa, saya hampir-hampir tak bisa ‘menempatkan’ diri sebagaimana mestinya, karena layaknya seorang ‘guru’ seharusnya saya lebih banyak ‘bicara’ ataupun memberi ilmu, tapi tidak, saya lebih senang menjadi ‘murid’ ketika berhadapan dengan orang yang saya anggap ‘hebat’ dalam kehidupannya. ‘Murid’ plus ‘guru’ saya kali inipun istimewa, beliau adalah seorang Bapak yang tak bisa diremehkan jabatan-nya di dunia ini, karena selain sangat berlimpah hartanya, beliau adalah orang kepercayaan sebuah perusahaan Nasional yang saat ini bertugas di kota saya.

Harta rasa-rasanya bukan lagi sesuatu yang menjadi ‘ambisi’ hidupnya saat ini, karena bisa dibilang, permintaan apapun yang terbesit dalam pikirannya bisa terbeli saat itu juga...Ah...persis seperti kisah Lampu Aladin...Rumah, mobil, deposito, saham...tak lagi menjadi ‘beban’ pikirannya. Di saat kebanyakan orang ‘merindukan’ datangnya harta dunia tersebut, ternyata bukan itu yang saat ini begitu berkecamuk dalam hati-nya. Satu kata yang saat ini ingin beliau perbaiki kualitas dalam dirinya yaitu  KELUARGA...