By : Dinar Apriyanto
Ketika saya masih duduk di bangku
SD, saya masih teringat sebuah acara televisi berjudul “keluarga Cemara” yang
menjadi salah satu acara favorit saya. Dalam film itu, dikisahkan tentang
kehidupan keluarga sederhana yang hidup dengan bahagia meskipun tidak
berkelimpahan harta benda. Abah yang dalam kisah itu sebagai sosok ayah yang
sangat peduli terhadap keberhasilan anak-anaknya selalu memotivasi anak-anak
untuk tetap sekolah di tengah profesinya sebagai tukang becak. Emak dalam kisah
itu diceritakan sebagai sosok seorang ibu rumah tangga yang begitu hangat
menampung segala keluh kesah anak-anaknya. Euis, Ara dan Agil adalah tiga putri
yang dimiliki oleh keluarga ini yang mereka harus berjuang keras menyambung
kehidupannya dengan berjualan Opak, seusai sekolahnya. Namun, di tengah begitu
kerasnya kehidupan yang harus mereka hadapi, keluarga ini hidup bahagia dan
meninggalkan bekas hikmah setelah melihat tayangan tersebut.
Bicara tentang keluarga, saya
teringat juga tentang kisah suatu malam ketika saya berkesempatan berkunjung ke
rumah salah seorang manajer di sebuah perusahaan ternama dari Jepang. Beliau
kebetulan selama beberapa bulan ditempatkan di sebuah kota oleh perusahaan
pusat. Selama beberapa bulan tersebut beliau hanya bisa menemui keluarganya
sepekan sekali di hari ahad. Malam itu beliau bercerita panjang lebar tentang
kesepiannya jauh dari keluarga, “Saya kangen sama keluarga mas, karena Selama
beberapa tahun saya tidak pernah jauh dari keluarga baru kali ini saya
ditempatkan di tempat yang jauh!” . Ketika hari Sabtu menjelang, kebahagiaanpun
menyeruak ke dalam hati beliau, karena berarti sebentar lagi bisa bertemu
dengan istri dan kedua anaknya. Namun ketika hari Senin pagi menjelang, beliau
mengaku betapa malasnya harus bangun pagi untuk segera meluncur ke kota
tempatnya kini bekerja. “Sungguh mas, bagi saya keluarga membuat saya
bersemangat untuk melakukan sesuatu, termasuk bekerja!” kata bapak ini menutup
kisah rindunya dengan keluarga.
Dalam sebuah surat kabar
elektronik, sayapun membaca kisah-kisah para pekerja yang harus hidup berjauhan
negara dengan sanak keluarganya. Kerinduan mereka dengan keluarga begitu terasa
saat mereka menempel foto istri dan anak-anaknya di kamar. Beberapa kisah
menyebutkan bahwa kerinduan itu mereka salurkan melalui musik-musik sendu yang
sengaja mereka download dari situs internet, sehingga mereka merasakan dekat
dengan keluarga. Dan tidak sedikit dari mereka yang harus merogoh kocek
dalam-dalam untuk sekedar mendengar suara dari keluarga yang dirindukannya.
Saudaraku yang budiman, suatu
saat mungkin kita akan mengalami hidup berjauhan dengan keluarga kita. Bisa
jadi karena kuliah, bekerja ataupun tugas khusus yang mengharuskan kita hidup
berjauhan dengan keluarga. Ketika jauh, kita baru akan merasakan betapa
rindunya kita dengan sosok orang tua kita. Kita rindu untuk bisa melihat
kesibukan ibu di pagi hari yang menyiapkan makanan. Rindu untuk bisa mencium punggung
tangan ayah yang pamit untuk bekerja. Bila sudah berkeluarga, mungkin kita akan
rindu menatap wajah Istri yang kita cintai mengantarkan langkah kita saat
keluar rumah. Atau rindu tawa anak-anak
kita saat bermain petak umpet. Kerinduan-kerinduan itulah yang terus akan
menjadi magnet dalam kehidupan kita untuk selalu kembali ke ‘istana’ terindah
kita yaitu rumah tempat kita tinggal.
Keberhasilan yang kita capai hari
ini tak akan bisa terwujud bila tak ada dukungan dari orang tua, istri dan
anak-anak kita. Begitu besar kontribusi yang sudah mereka berikan ke dalam diri
kita. Suntikan semangat dari keluarga yang selalu terinjeksi di saat kita
berada di titik semangat terendah dalam episode kehidupan kita.
Keluarga, sumber motivasi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar