Empat hari ini saya berinteraksi
cukup intens dengan seseorang yang baru beberapa pekan yang lalu saya kenal.
Tak seperti pada umumnya seseorang, beliau terlahir dengan kondisi “Spesial”.
Spesial fisik dan spesial mental. Tak berlebihan rasanya saya berikan penilaian
seperti itu meskipun beliau terlahir dengan kondisi tidak bisa melihat. Dalam
pembicaraan di ruang tunggu Bandara perjalanan Jogja – Jakarta beliau menuturkan
kisahnya pada saya.
Terlahir pada tanggal 17 Desember 1980, dalam keadaan
tunanetra total. Mbah kakung memberi nama beliau Agus Putranto. Dimasa kecil beliau dirawat
oleh mbah kakung dan mbah putri, beliau dikaruniai berbagai macam prestasi yang
cukup gemilang. Ketika keluarga saya mengetahui bahwa Agus tidak bisa melihat,
merekapun mengupayakan supaya agus bisa melihat. Mereka membawa agus ke dokter, bahkan dukun. Mereka
ingin agus bisa melihat, namun sepertinya Allah lebih mengetahui yang terbaik
untuk hambanya, sampai sekarang Agus tetap hidup sebagai orang yang “spesial”. Kondisi
inipun tidak merubah cinta keluarganya untuk dirinya, keluarga agus tetap
menerima dengan baik, tak ubahnya seperti anak lain pada umumnya.
Waktu kecil agus merasa sama dengan
teman-temannya yang sebaya. Agus ber pikir bahwa mereka juga sama dengan agus. Agus
paling suka main perang-perangan. Ketika berjalan agus sering menabrak sesuatu, dalam pikiran agus,
teman-temannya juga sama seperti itu. Agus juga bisa dan senang naik sepeda
meskipun hanya di sekitar
lingkungan yang dihafal.
Tak seperti keluarga agus yang
menerima keadaannya, teman-teman agus semasa kecil, tak sedikit yang nakal
melihat kondisi agus yang seperti itu. Agus sering di ejek oleh tetangga Saya. Agus
sering nangis jika dikatain picak,- (buta) dalam bahasa jawa kata itu sangat
kasar- meski pada waktu itu agus tidak tau apa arti kata itu. Agus juga pernah
dipanggil dengan sebutan pego. Pego adalah sebuah sebutan dalam bahasa jawa
yang berarti gila, bodoh, atau lola alias loadingnya lambat. beberapa perlakuan
yang kurang baik sering dialami agus misalnya ketika agus berjalan sering orang
bilang “...terus, terus, terus...!” padahal didepan Agus ada selokan, parit,
atau kadang mereka memasang sesuatu sehingga agus menabraknya, lalu merekapun
tertawa.
Karena Agus ingin menjadi musisi, maka Agus ingin sekolah di sekolah menengah
musik yogyakarta, tetapi Agus tidak diterima karena ada aturan yang bisa diterima disekolah itu harus
sehat jasmani dan rohani, ( tidak cacat). Jadi menurut mereka orang yang
tunanetra itu tidak sehat jasmani dan rohaninya. Satu ketika Agus mengikuti lomba nyanyi bintang
radio televisi Yogyakarta jenis keroncong. Setelah melalui seleksi yang cukup
ketat akhirnya dewan juri memilih 2 finalis putra untuk dilombakan. Setelah
lomba selesai dewan juri memutuskan bahwa Agus juara 3
dan lawan nya juara 1. Yang diseleksi adalah suaranya.
Dikhawatirkan panitia jika agus yang lolos seleksi maka Agus-lah yang akan mewakili Yogyakarta. Mestinya jika hanya ada 2 peserta
hanya ada juara 1 dan 2. setelah Agus tanya mengapa bisa demikian, ternyata juara 1 dan 2 akan diseleksi di
Jakarta sebagai wakil Yogyakarta untuk maju di tingkat nasional.
Namun kini Agus bukanlah orang
biasa, layaknya seekor ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Agus
memilih untuk menerima kondisinya yang “spesial” itu. Dia tidak marah, dia
menerima seutuhnya bahwa dirinya terlahir seperti itu. Dan Setelah lulus kuliah
Agus mengikuti sebuah seleksi Internasional yang diselenggarakan sebuah lembaga
di Jepang. Berkesempatan
mendapatkan beasiswa training leadership di Jepang yang diSeleksi se Asia Pasifik hanya
dipilih 7 orang dari 7 negara, dan Agus adalah satu-satunya dari Indonesia.
Agus juga berkesempatan
mengajar angklung 20 oran jepang di Osaka. Agus juga di undang sebagai bintang tamu pada konser musik
di Tokyo, Nagoya, dan Osaka. Agus juga berkesempatan tampil pada acara Kick Andy metro
TV episode Ada Asa Dalam Nada. Dan kini selain berprofesi sebagai guru
di SLB, Agus menjadi Inspirator Musik Metamorfosa yang telah menginspirasi
ribuan orang.
Pembaca yang budiman, belajar
dari kisah Agus, menjadi “cacat” dan “normal” ternyata adalah sebuah pilihan.
Di dunia ini banyak yang dikaruniai tubuh normal, namun secara mental ia
sebenarnya cacat, karena selalu berfokus pada kelemahan yang dia miliki. Namun
banyak ditemui orang yang terlahir “cacat” namun dia justru memiliki mental
yang baik dan fokus pada kelebihan yang dia miliki sehingga sehingga berhasil
menjadi orang yang sukses dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar