Sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan kemarin, bagi saya merupakan sepuluh hari istimewa.
Sepuluh hari yang hampir di setiap malamnya, disirami ilmu-ilmu agung
dari para Ulama dan Ustadz yang begitu mantap ilmunya. Yang tak kalah
pentingnya adalah suasana ‘kompetisi’ mengkhatamkan Al Qur’an
yang hampir tiap malam hari hingga tengah malam menjelang.
Kebersamaan “istima’i” makan bersama dan sahur bersama,
kenikmatan tersendiri dan terasa keberkahannya. Meskipun berada di
masjid yang tidak terlalu besar dan megah, namun sisa-sisa hari
terakhir bulan Ramadhan terasa lebih syahdu dengan suasana I’tikaf
sepuluh hari terakhir Ramadhan 1433 H.
Salah satu malam di
sepuluh hari terakhir itu, kami serombongan I’tikaf didatangi
Ustadz spesial yang diimpor langsung dari Universitas Madinah. Ustadz
yang saat ini menempuh Pascasarjana di Madinah tersebut tergolong
ustadz yang berumur masih sangat muda. Namun, duduk satu majelis
dengan Ustadz tersebut, terasa begitu berarti makna kajian satu jam
malam hari itu. Materi kajian mungkin sudah sering didengar dari
majelis-majelis lain di luar sana, ataupun sudah banyak buku yang
beredar dengan judul yang sama yaitu “Sayyidul Istighfar”, namun
entah, mengapa, Rasanya saya baru kali ini mendengar Dahsyatnya
kekuatan Istighfar yang terasa begitu ‘mengena’ di hati.
Beberapa materi yang saya
catat dari Ustadz tersebut yaitu ....Istighfar ternyata memiliki
begitu banyak manfaat untuk siapa saja yang melafalkannya. Beberapa
fadhilah-nya antara lain : Pertama : Diampuni Dosa-dosa kita, Kedua :
Dilapangkan Rezeki kita, Ketiga : Terjaga diri kita dari perbuatan
dosa dan maksiat. Rasululloh, uswah teladan kita, mencontohkan untuk
beristighfar dalam satu hari tak kurang dari 100 kali Istighfar.
Itupun beliau yang maksum dan terjada dari dosa, sedangkan kita
manusia biasa, tentu paling tidak mencontoh perbuatan Rasululloh
tersebut dengan tidak lupa membaca Istighfar minimal sehari 100 kali.
Sumber segala kekuatan
manusia pada dasarnya adalah hanya kepunyaan Alloh. Maka tak pantas
rasanya kita bersikap Percaya Diri saja. Para Nabi, dan Rasululloh
tidak pernah mencontohkan sikap percaya diri. Rasululloh sebagai
seorang utusan Alloh, saat beliau hendak memimpin perang Badar,
beliau tidak percaya diri dengan kemampuannya dan kemampuan
pasukannya. Justru pada saat seperti itu Rasululloh menghabiskan
waktunya untuk berdoa dan memasrahkan seluruh kekuatannya pada Alloh
dan memohon agar Alloh menurunkan pertolongan-Nya. Tentu sikap
seperti ini bukanlah sikap percaya diri namun sikap Percaya Alloh.
Percaya Diri yang
berlebih justru seringkali berakibat pada kegagalan kita sebagai
manusia. Tengok bagaimana salah satu perang yang saat itu Umat Islam
begitu Percaya Diri dengan banyaknya pasukan namun menjadikan lupa
akan peran Alloh dalam setiap kemenangan, maka saat itu tentara Islam
dibuat kocar-kacir atas musuhnya dalam medan peperangan. Maka Percaya
Alloh menjadi hal utama dan penting untuk menjadikan kita sebagai
manusia yang ‘kuat’ dan ‘berani’ menghadapi segala tantangan
hidup. Bukan karena percaya akan kemampuan diri kita, namun Percaya
Diri itu harus didasarkan pada Percaya akan adanya kekuatan Alloh
dalam membantu mengabulkan hajat kita sebagai manusia.
Saudaraku yang budiman,
mari kita jadikan kehidupan kita senantiasa Percaya Alloh dengan
menjadikan hari-hari kita penuh dengan harap dan do’a kepada Alloh
SWT.
Salam Muda, Sukses,
Berkah
www.klubmbc.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar