Konsultasi Psikologi Remaja


Rubrik ini diasuh oleh Nadia Rahmawati. Cita-citanya sebagai seorang Guru yang Mujahidah menjadikannya semangat untuk selalu mendalami ilmu Psikologi Islam. Latar belakang ilmu yang diperolehnya di Psikologi Universitas Gadjah Mada menjadikannya sangat expert dalam bidang ini.


1. IBU............
Perasaan saya selalu sama setiap melihat video itu, tak peduli sudah seberapa sering saya menyaksikannya tapi rasa haru tak pernah lepas dari saya. Menggambarkan pertemuan terakhir seorang pemuda yang akan berjihad membela tanah air, Allah, dan agamanya. Muhammad Fathi Farhat belum genap berusia 20 tahun saat syahid tertinggi menjemputnya. Ia menjemput syahidnya dengan tenang dan bangga karena ia tahu sang bunda telah meridhoi langkahnya. Sungguh syahdu bagaimana ibunya mencium Fathi Farhat dan Fathi Farhat mencium ibunya. Sebuah ikat kepala yang awalnya ia pakai, ia lepaskan dan ia pakaikan pada ibunya. Ia berpamitan pada ibunya. Bagi saya, berpamitan artinya akan pulang lagi suatu saat nanti. Ah, sungguh berbeda arti berpamitan antara saya dan Fathi Farhat. Ia baru akan bertemu ibunya lagi di surga nanti.

Episode demi episode dalam durasi singkat itu kurang lebih memvisualisasikan satu sosok ibu yang mulia sepanjang sejarah, Khansa. Melepas satu per satu anaknya berjuang ke medan jihad hingga syahid jadi tebusannya, sungguh suatu bentuk prestasi tinggi seorang ibu. Pemikiran seperti ini membuat saya bertanya-tanya bagaimana masa muda yang dilalui bunda-bunda mujahid itu hingga berhasil “membentuk” anaknya sedemikian rupa.

...didiklah anakmu 25 tahun sebelum ia lahir...

Entah berlebihan atau memang demikian, itulah kata-kata paling melekat yang saya dapat saat pertama mengaji di SMA dulu. Menjadi ibu adalah suatu keniscayaan bagi perempuan. Saking niscayanya, kadang ia tak lebih dinilai dari satu tugas perkembangan yang pasti terjadi. Dan mau tidak mau, mempertimbangkan social desirability, setiap wanita akan mengalaminya. Hal demikian seolah menurunkan derajat mulia ini menjadi hal wajar yang tak bisa terelakkan.

Entah, berapa orang yang sadar akan hal itu. Mendidik anak tidak sekedar memberinya makan dan pakaian, juga pendidikan, serta materi. Dan standar hidup muslim selalu lebih tinggi dari kebanyakan. Mungkin cukup bagi orang lain melihat anaknya cerdas dan sehat dengan IPK tak kurang dari 3,5. Namun Islam tak hanya sampai di sana. Bagaimana ia memposisikan Allah di hatinya menjadi jauh lebih mendasar untuk disiapkan. Dan di sinilah ibu memainkan peran paling penting dalam alur hidup anak-anaknya. Ibu adalah sekolah pertama yang dimiliki siapapun. Ia adalah sosok signifikan terdekat bagi seseorang. Ialah yang pertama kita lihat, pertama kita dengar, dan pertama memeluk kita.

Sebagai madrasah utama bagi anak-anaknya, ia wajib siap menjadi gudang ilmu yang tak habis diambil kapanpun dimanapun. Ini adalah
cambuk bagi para muslimah untuk terus mencari ilmu, sebelum akhirnya memberikan ilmu.

Semakin banyak ilmu, semakin tinggi rasa takut kita kepada Allah.Ilmu Allah itu amat luas. Dan ia adalah sarana bagi kita untuk semakin ma’rifat kepadaNya. Semakin banyak ilmu yang kita punya, sejatinya semakin kita menyadari betapa kecil dan tidak berdaya manusia itu. Tiga SKS dalam mata kuliah psikologi Faal cukup membuka mata saya (semakin) lebar bahwa sungguh nyata hanya Allah Maha Pencipta yang Luar Biasa. Maka tak heran bagaimana para ilmuwan yang semakin dalam mengkaji ilmunya, mereka semakin mengakui kekuasaan Allah. Ini semua berbanding lurus, antara intensitas ibadah dan ilmu yang dimiliki. Seharusnya. Dan begitulah Imam Ali menggambarkan, “Patah punggungku melihat dua hal; orang yang berilmu tapi bermaksiat dan orang yang bodoh tapi rajin ibadah.” Ini cukup memberi gambaran bagaimana menjadi ibu harus juga menjadi sosok yang cerdas.

Luhur dari kesenangan dunia. Dalam dunia politik, persepsi politik jauh lebih menentukan daripada realitas politik. Artinya, bagaimana seseorang memandang sesuatu menjadi lebih penting daripada bagaimana objek itu sebenarnya. Bagaimana seseorang mempersepsi tugas yang diembannya, akan menentukan bagaimana realitas performanya dalam menjalankan tugas itu. Menjadi seorang ibu hendaknya dipahami sebagai suatu ibadah. Di sinilah kita benar-benar bisa belajar dan merefleksi apa yang telah dilakukan bunda Khansa dan Ummu Farhat. Secara sadar dan kontinyu, mereka terus memelihara orientasi pendidikan anak mereka hingga mencapai cita-cita tertinggi. Pendidikan dalam arti transfer knowledge hingga transfer value terjaga dalam bingkai keimanan pada Allah.

Welas asih pada murid, sabar, dan mencintai mereka. Cinta dan kasih sayang adalah landasan dasar atas semua ini. Anak bukanlah manusia dewasa dalam tubuh kecil. Anak adalah anak, dengan pemikiran dan perasaan dalam fasenya. Terkadang dua perspektif antara anak dan orang tua sulit terjalin sejalan. Masing-masing memperjuangkan pendapatnya dengan ego sama-sama kuat. Kematangan sosial seorang ibu mutlak diperlukan untuk memahami jalan pikiran anak-anaknya. Kematangan sosial bukanlah satu skill yang datang dari langit dan merasuk. Ia bagaikan buah, yang harus dipersiapkan, dipupuk, dan dikembangkan. Ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Jauh sebelum ia menjadi ibu, ia harus sudah memulai mengembangkan kecerdasan emosionalnya. Ini akan sangat berkaitan dengan akhlaq, yang secara nyata bisa diamati anak-anaknya. Akhlaq seorang ibu akan diimitasi dan dijadikan standar model oleh anak-anaknya.

Ikhlas dalam mengajar, tujuan hanya untuk Allah. Teman terbaik adalah bahwa dengan melihatnya membuat kita teringat Allah, ucapannya menambah ilmu, dan amalannya mengingatkan pada akhirat. Alangkah bangganya ketika seorang ibu bisa dijadikan referensi utama oleh anak-anaknya. Ia bisa menjadi teman terbaik bagi anak-anaknya, sepanjang masa! Ia juga menjadi orang yang paling didengarkan oleh anaknya. Biidznillah, semua ini akan murni tercermin dari bagaimana ia mengorientasikan semua jerih payahnya. Tak ada kata dalam sejarah, seorang ibu meminta bayaran atas pendidikan dan perawatan anaknya. Tak ada kata, ia ingin dipuji, minta bayaran, tebusan, bahkan harta dari anaknya saat dewasa kelak. Seorang ibu perlu menjaga kelurusan niatnya bahwa tak ada lain selain Allah sebagai satu-satunya tujuan.

Kemuliaan kedudukan seorang ibu yang digambarkan Al-Quran dan Rasulullah tentu tak bisa didapat dengan asal-asalan. Ia membutuhkan usaha, persiapan, dan orientasi yang lurus pada Allah semata. Sejatinya ia adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Anak-anak inilah yang kelak akan menjadi generasi-generasi pembaharu dalam sejarah Islam. Merekalah yang akan berada di baris terdepan dalam perjuangan Islam. Anis Matta menggambarkan bahwa ada dua sosok yang perlu diperhatikan pada diri seorang pemimpin besar, yakni ibunya dan istrinya. Sungguh mulia kedudukan perempuan dalam Islam.

Seperti telah tertulis dalam sejarah, “selalu ada wanita yang kuat di balik laki-laki yang hebat.”
*) ditulis sebagai ujian kuliah "Adab"
ref: kitab "Al 'Alim wal Muta'alim

1 komentar:

  1. mbak maaf mau konsultasi boleh nih. Saya riri baru lulus SMA. Sejak SMP kelas 3 sampai lls SMA saya tinggal bsama kluarga bibi saya. Bibi saya d rumah bsama suaminy, anakny laki2 sklh SMP, anakny perempuan yg jg skolah SMA. Bibi saya orangny baik, tp sehari2 nggak pake jilbab pdl anak prempuanny pake jilbab, pakeny baju modis. Nah bbrp hari yg lalu bibi curhat n nunjukin ke saya kalo ia puny tato d pantat meskipun bkn tato permanen. saya sbenarny risih n heran tnyata tante saya puny tato. saya nggak tau apa suaminy tahu atao enggak. Saya gmn ya mbk ingin nasehatin tante saya

    BalasHapus