Senin, 10 Desember 2012

Metamorfosa sang “Agus” By : (e)mas Dinar




Empat hari ini saya berinteraksi cukup intens dengan seseorang yang baru beberapa pekan yang lalu saya kenal. Tak seperti pada umumnya seseorang, beliau terlahir dengan kondisi “Spesial”. Spesial fisik dan spesial mental. Tak berlebihan rasanya saya berikan penilaian seperti itu meskipun beliau terlahir dengan kondisi tidak bisa melihat. Dalam pembicaraan di ruang tunggu Bandara perjalanan Jogja – Jakarta beliau menuturkan kisahnya pada saya. 

Terlahir pada tanggal 17 Desember 1980, dalam keadaan tunanetra total. Mbah kakung memberi nama beliau Agus Putranto. Dimasa kecil beliau dirawat oleh mbah kakung dan mbah putri, beliau dikaruniai berbagai macam prestasi yang cukup gemilang. Ketika keluarga saya mengetahui bahwa Agus tidak bisa melihat, merekapun mengupayakan supaya agus bisa melihat. Mereka membawa agus ke dokter, bahkan dukun. Mereka ingin agus bisa melihat, namun sepertinya Allah lebih mengetahui yang terbaik untuk hambanya, sampai sekarang Agus tetap hidup sebagai orang yang “spesial”. Kondisi inipun tidak merubah cinta keluarganya untuk dirinya, keluarga agus tetap menerima dengan baik, tak ubahnya seperti anak lain pada umumnya.

Waktu kecil agus merasa sama dengan teman-temannya yang sebaya. Agus ber pikir bahwa mereka juga sama dengan agus. Agus paling suka main perang-perangan. Ketika berjalan agus sering menabrak sesuatu, dalam pikiran agus, teman-temannya juga sama seperti itu. Agus juga bisa dan senang naik sepeda meskipun hanya di sekitar lingkungan yang dihafal.

Tak seperti keluarga agus yang menerima keadaannya, teman-teman agus semasa kecil, tak sedikit yang nakal melihat kondisi agus yang seperti itu. Agus sering di ejek oleh tetangga Saya. Agus sering nangis jika dikatain picak,- (buta) dalam bahasa jawa kata itu sangat kasar- meski pada waktu itu agus tidak tau apa arti kata itu. Agus juga pernah dipanggil dengan sebutan pego. Pego adalah sebuah sebutan dalam bahasa jawa yang berarti gila, bodoh, atau lola alias loadingnya lambat. beberapa perlakuan yang kurang baik sering dialami agus misalnya ketika agus berjalan sering orang bilang “...terus, terus, terus...!” padahal didepan Agus ada selokan, parit, atau kadang mereka memasang sesuatu sehingga agus menabraknya, lalu merekapun tertawa.

Karena Agus ingin menjadi musisi, maka Agus ingin sekolah di sekolah menengah musik yogyakarta, tetapi Agus tidak diterima karena ada aturan yang bisa diterima disekolah itu harus sehat jasmani dan rohani, ( tidak cacat). Jadi menurut mereka orang yang tunanetra itu tidak sehat jasmani dan rohaninya. Satu ketika Agus mengikuti lomba nyanyi bintang radio televisi Yogyakarta jenis keroncong. Setelah melalui seleksi yang cukup ketat akhirnya dewan juri memilih 2 finalis putra untuk dilombakan. Setelah lomba selesai dewan juri memutuskan bahwa Agus  juara 3 dan lawan nya juara 1. Yang diseleksi adalah suaranya. Dikhawatirkan panitia jika agus yang lolos seleksi maka Agus-lah yang akan mewakili Yogyakarta. Mestinya jika hanya ada 2 peserta hanya ada juara 1 dan 2. setelah Agus tanya mengapa bisa demikian, ternyata juara 1 dan 2 akan diseleksi di Jakarta sebagai wakil Yogyakarta untuk maju di tingkat nasional.