Jumat, 31 Agustus 2012

Perlukah Bahasa Inggris itu? By : Dinar Apriyanto


 

Di kampung halaman, saya punya banyak kenalan orang-orang yang ternyata istimewa. Salah satunya adalah kakak sahabat saya yang sering mengisi ceramah di masjid, beliau sempat mendapatkan beasiswa studi S1 di sebuah negara Adidaya. Saat itu, seusai sholat berjamaah di Mushola kecil dua lantai di kampung saya, beliau duduk bersama kami para pengurus mushola dan kalau posisi duduk sudah seperti ini, alhasil akan terjadi diskusi yang sangat panjang. Maklum, karena beliau termasuk salah satu orang yang pandai dan luas pengetahuannya, ibarat dalang, sering kita ‘tanggap’ beliau untuk menceritakan kisah-kisah menarik semasa beliau kuliah di luar negri. Beliau pernah mengkisahkan kepada saya tentang betapa pentingnya Bahasa Inggris. Begini kisahnya...

Ketika ditanya “Perlukah Bahasa Inggris itu? Sebagian besar di antara anda akan menjawab, “Ya!!!” (Walaupun mungkin juga, ada yang masih ragu). Globalisasi, bahasa internasional, kompetisi, ... apa lagi? Ampun... Tapi bagaimana jika anda diminta untuk memberikan alasannya dengan menggunakan bahasa yang tidak klise? Nah, itulah yang dialami kakak sahabat saya itu beberapa tahun yang lalu. Kisah nyata. Benar-benar pernah terjadi.

Sewaktu masih bermukim di Amerika Serikat, saya nge-fans berat sama seorang penceramah asal New York. Buat orang-orang Islam di Amerika, penceramah ini sama tenarnya dengan Aa’ Gym di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Beliau bernama Imam Siraj Wahhaj. Orang Amerika asli. Beliau adalah imam Masjid Taqwa di daerah Brooklyn, New York City. Ceramah-ceramahnya tidak akan bikin orang sempat ngantuk. Sentilan-sentilannya akan menambah semangat untuk menyebarkan kebahagiaan menjadi hamba Allah yang muslim.

Suatu saat, terdengar kabar bahwa Brother Imam Siraj akan memberikan ceramah di Nashville. Buat kami, sekelompok mahasiswa fans Siraj Wahhaj, hal ini merupakan kesempatan untuk mendengarkan, melihat, dan mengalami langsung ceramah dari Sang Imam. Nashville hanyalah berjarak tiga jam perjalanan naik mobil dari tempat kami tinggal. Oh, well, tiga jam itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalau kita harus melakukan perjalanan ke New York selama 12 jam!

Singkat cerita, kami sudah berada di aula Vanderbilt University di Nashville. Imam Siraj diundang berceramah oleh masyarakat muslim setempat dalam rangka pengumpulan dana (fundraising) untuk mendirikan sekolah Islam pertama di sana.

Mulailah Imam Siraj berbicara, dan di tengah-tengah ceramahnya beliau bertanya kepada para hadirin, “Who’s not for this project?” Semuanya diam. Menurut tafsiran saya, arti dari pertanyaan itu adalah, “Siapa yang tidak ikut terlibat dalam proyek (pembangunan sekolah) ini?” Sebagai orang dari luar kota Nashville, tentu saja saya tidak terlibat. Saya pun spontan mengangkat tangan. Sendirian. Semua orang melihat ke arah saya. Sang Imam pun melirik. Beliau melihat saya sebentar, kemudian ceramah pun dilanjutkan. Beliau berkata, “Of course, nobody is against this project.

Deg! Laa haula wa laa quwwata illa billah. Barulah saya sadar, penafsiran saya yang berdasarkan atas bahasa Inggris yang cekak tadi ternyata salah total. Maksud dari pertanyaan dari sang Imam tadi adalah, “Siapa yang menentang proyek ini?” Dan gara-gara salah pengertian, saya langsung angkat tangan. Pantas saja, teman-teman saya tadi pada bergaya tidak kenal saya. Ya ampun, masa saya tega sih menentang proyek yang mulia seperti ini. Astaghfirullahal-azhiim.

Tapi untungnya orang-orang Islam di Nashville pada baik-baik. Sang Imam pun mengerti. Pada waktu saya menyalami Imam Siraj Wahhaj, setelah ceramah selesai, beliau tersenyum. Tampaknya beliau maklum, kalau orang yang menyalaminya ini bahasa Inggrisnya pas-pasan. (Oh, man!) Setelah ceramah selesai, kami pun dipersilakan untuk makan bersama. Panitia yang mempersilakan kami bertanya, “Where are you from, brother?” dengan ramah dan mengajak saya bercakap-cakap dengan pelan-pelan. Memastikan bahwa tidak akan terjadi lagi salah tafsir. (Hehe…)

Sekarang, buat anda yang masih ragu, silakan jawab pertanyaan ini. Perlukah Bahasa Inggris itu?

Ha..ha..Trimakasih Mas Arief S. Adhi yang telah menceritakan kisah ini pada kami....dan sekarang kami tahu pentingnya belajar Bahasa Inggris..pun pentingnya belajar Bahasa Arab juga pastinya, biar tidak tersesat pas saat kita nanti Naik Haji..amiin...


Kunjungi tulisan saya yang lain di www.klubmbc.com atau di www.klubmbc.blogspot.com

Selasa, 28 Agustus 2012

Pujian VS Celaan... By : Dinar Apriyanto



Seharian kemarin saya melakukan perjalanan di dua kota yang berbeda, di kota yang pertama, saya bertemu dengan seorang akademisi di sebuah Universitas dan di kota kedua saya berjumpa dengan seorang praktisi keuangan swasta. Ketika bertemu dengan akademisi tersebut, saya langsung mendengar komentar dari beliau mengenai performance saya beberapa waktu yang lalu, dan beliau berkata, “Wah mas...kemarin hasilnya kurang memuaskan, seperti tidak siap!” kata beliau singkat sambil membuang pandangan... lalu diskusi panjangpun berjalan kira-kira lima menit..

Beberapa jam kemudian saya bertemu dengan praktisi keuangan swasta di kota yang lain. Sekitar satu jam saya berdiskusi dan beraktivitas dengan beliau, menjelang pulang beliau berkata pada saya, “Wah senang bertemu denganmu mas, memang Istimewa mas ini...!” kata beliau mengiringi kepergian saya
Saya kemudian teringat tulisan di sebuah buku Psikologi Populer tentang komentar yang sering kita dengarkan dari orang lain dalam waktu satu hari. Menurut buku tersebut, manusia rata-rata menerima komentar Negatif, enam kali lebih banyak dibandingkan komentar positif setiap hari. Dan saya merasakan bahwa ternyata penelitian yang dipublish dalam buku tersebut ada benarnya.

Mengenai pujian dan celaan saya mengutip referensi yang bagus. Ada ungkapan menarik yang disampaikan oleh al-Muhasibi, "Beribadahlah karena dan untuk Allah semata, karena niscaya burung, binatang-binatang buas, hewan melata dan para Malaikat akan memuji dirimu. Seluruh bangsa jin dan manusia yang berada di sekelilingmu juga akan turut berbahagia. Mereka akan memuji sikapmu. Lantas apakah kamu memilih untuk beribadah karena Allah atau tetap mengharapkan tipu daya berupa pujian dari mahluk. Kamu lebih memilih untuk meraih ridha Allah ataukah senang menerima azab-Nya? Kamu lebih senang mendapatkan nikmat yang abadi ataukah azab yang pedih?"

Salah satu obat untuk menghindari sikap senang dipuji dan disanjung adalah memperbanyak syukur kepada-Nya. Karena dengan menanamkan rasa syukur, memperbanyak syukur dan khawatir kalau nikmat Allah dicabut maka kita tidak akan mempunyai waktu lagi untuk merasa tersanjung ketika dipuji. Sebab malaikat dan para nabi saja sangat khawatir jika sampai anugerah Allah dicabut dari mereka. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: "(Mereka berdoa), 'Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." (aali-'Imraan: 8).

Saudaraku, tak henti-hentinya al-Fakir mengingatkan, terutama bagi diri al-Fakir sendiri agar kita senantiasa saling mengingatkan satu sama lain dalam berperilaku. Mari kita teladani apa yang dilakukan oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib kw saat disanjung orang. Beliau biasanya berdoa: "Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui, dan janganlah Engkau siksa aku dengan apa yang mereka katakan, dan jadikanlah aku lebih baik daripada dari apa yang mereka sangkakan kepadaku." Atau meniru apa yang diucapkan oleh sebagian sufi dalam doanya ketika dipuji: "Ya Allah, sungguh hamba-Mu ini lebih layak pada murka-Mu dan aku bersaksi kepada-Mu atas kelayakan murka itu."
(Kutipan Ayat dan Hadits saya kutip dari http://www.spiritualsharing.net/read/detail/80/waspada-terhadap-pujian)
Semoga bermanfaat, kunjungi www.klubmbc.com

Jumat, 24 Agustus 2012

(Jangan) Percaya Diri By : Dinar Apriyanto

Sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan kemarin, bagi saya merupakan sepuluh hari istimewa. Sepuluh hari yang hampir di setiap malamnya, disirami ilmu-ilmu agung dari para Ulama dan Ustadz yang begitu mantap ilmunya. Yang tak kalah pentingnya adalah suasana ‘kompetisi’ mengkhatamkan Al Qur’an yang hampir tiap malam hari hingga tengah malam menjelang. Kebersamaan “istima’i” makan bersama dan sahur bersama, kenikmatan tersendiri dan terasa keberkahannya. Meskipun berada di masjid yang tidak terlalu besar dan megah, namun sisa-sisa hari terakhir bulan Ramadhan terasa lebih syahdu dengan suasana I’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan 1433 H.
Salah satu malam di sepuluh hari terakhir itu, kami serombongan I’tikaf didatangi Ustadz spesial yang diimpor langsung dari Universitas Madinah. Ustadz yang saat ini menempuh Pascasarjana di Madinah tersebut tergolong ustadz yang berumur masih sangat muda. Namun, duduk satu majelis dengan Ustadz tersebut, terasa begitu berarti makna kajian satu jam malam hari itu. Materi kajian mungkin sudah sering didengar dari majelis-majelis lain di luar sana, ataupun sudah banyak buku yang beredar dengan judul yang sama yaitu “Sayyidul Istighfar”, namun entah, mengapa, Rasanya saya baru kali ini mendengar Dahsyatnya kekuatan Istighfar yang terasa begitu ‘mengena’ di hati.
Beberapa materi yang saya catat dari Ustadz tersebut yaitu ....Istighfar ternyata memiliki begitu banyak manfaat untuk siapa saja yang melafalkannya. Beberapa fadhilah-nya antara lain : Pertama : Diampuni Dosa-dosa kita, Kedua : Dilapangkan Rezeki kita, Ketiga : Terjaga diri kita dari perbuatan dosa dan maksiat. Rasululloh, uswah teladan kita, mencontohkan untuk beristighfar dalam satu hari tak kurang dari 100 kali Istighfar. Itupun beliau yang maksum dan terjada dari dosa, sedangkan kita manusia biasa, tentu paling tidak mencontoh perbuatan Rasululloh tersebut dengan tidak lupa membaca Istighfar minimal sehari 100 kali.
Sumber segala kekuatan manusia pada dasarnya adalah hanya kepunyaan Alloh. Maka tak pantas rasanya kita bersikap Percaya Diri saja. Para Nabi, dan Rasululloh tidak pernah mencontohkan sikap percaya diri. Rasululloh sebagai seorang utusan Alloh, saat beliau hendak memimpin perang Badar, beliau tidak percaya diri dengan kemampuannya dan kemampuan pasukannya. Justru pada saat seperti itu Rasululloh menghabiskan waktunya untuk berdoa dan memasrahkan seluruh kekuatannya pada Alloh dan memohon agar Alloh menurunkan pertolongan-Nya. Tentu sikap seperti ini bukanlah sikap percaya diri namun sikap Percaya Alloh.
Percaya Diri yang berlebih justru seringkali berakibat pada kegagalan kita sebagai manusia. Tengok bagaimana salah satu perang yang saat itu Umat Islam begitu Percaya Diri dengan banyaknya pasukan namun menjadikan lupa akan peran Alloh dalam setiap kemenangan, maka saat itu tentara Islam dibuat kocar-kacir atas musuhnya dalam medan peperangan. Maka Percaya Alloh menjadi hal utama dan penting untuk menjadikan kita sebagai manusia yang ‘kuat’ dan ‘berani’ menghadapi segala tantangan hidup. Bukan karena percaya akan kemampuan diri kita, namun Percaya Diri itu harus didasarkan pada Percaya akan adanya kekuatan Alloh dalam membantu mengabulkan hajat kita sebagai manusia.
Saudaraku yang budiman, mari kita jadikan kehidupan kita senantiasa Percaya Alloh dengan menjadikan hari-hari kita penuh dengan harap dan do’a kepada Alloh SWT.
Salam Muda, Sukses, Berkah
www.klubmbc.com